Abu Nawas - Yang Lebih
Kaya Dan Mencintai Fitnah
Seperti biasa, Abu Nawas berjalan-jalan mengunjungi
pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena dari tempat ini ia dapat
menyampaikan ide-idenya ke masyarakat luas secara langsung.
Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi
untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai
berpidato, "Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara
ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid."
Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya.
Orang-orang di pasar itu menunggu-nunggu kalimat berikutnya yang akan
dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas
semakin percaya diri.
"Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda
Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah."
Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar.
Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang keluar mulut si Abu Nawas.
"Tenang....tenang.....tenang saudara. Masih ada
lagi."
Lagi-lagi seluruh orang pasar terdiam.
"Baginda kita itu, sebenarnya sangaaaaaaat
mencintai fitnah."
Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak
yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja
tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu
Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan
dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al
Rasyid.
Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi
Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya. "Apakah benar dipasar kamu
mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?"
"Benar baginda."
Makin geramlah Harun Al Rasyid.
"Apakah benar kamu juga mengatakan bahwa aku
mecintai fitnah?"
"Maaf, Baginda. Itu benar adanya," jawab Abu
Nawas tenang.
"Pengawal!! Bawa Abu Nawas ke penjara. Gantung
dia besok pagi."
"Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk
menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu Nawas memohon dengan wajah
yang memelas.
"Cepat katakan! Sebelum kau temui ajalmu."
"Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa
Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak
dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati.
"Dasar. Si Abu Nawas."
"Terus, maksud kata-katamu bahwa aku mencintai
fitnah?"
"Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri
dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi
Baginda. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Lalu, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang tidak paham perkataanmu
bisa marah."
"Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya
dipanggil oleh, Baginda."
"Kalau Aku sudah memanggil, memang kenapa?"
"Hmmmm....Yah...biar dikasih hadiah,
Baginda," ucap Abu Nawas lirih.
Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu
diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.
Cerita lucu:
"Abunanawas & gajah"
Raja: Hai abunawas! engkau terkenal cerdik &
pandai, aku ingin melihat itu, kalau engkau benar2 hebat, maka buatlah gajah
kesayanganku ini mengangkat kakinya, terserah kaki yg mana, kemudian buatlah jg
dia menggelengkan kepalanya. Kalau kau berhasil, maka akan ku kabulkan apapun
permohonanmu, karena siapapun di negeri antah berantah ini tdk ada yg dpt
melakukannya.
Abunawas; Baiklah baginda.
(maka dengan akal cerdiknya abunawas mendekati sang
gajah yg berkelamin laki2 itu, dan... menarik kemaluannya, maka
!!!AaAaUuuu!!!... sang gajah terkejut & sedikit kesakitan & mengangkat2
kakinya.)
Raja: Berikan tepuk tangan buat Abunawas!... Eit!
jangan senang dulu kamu! selesaikan saja yg berikutnya.
Abinawas: Siap baginda.
(lagi2 Abunawas mendekati sang gajah, dan berbisik
ditelinganya 'hai gajah dongo! apa mau yg seperti tadi lagi?!'... sang gajah
pun dengan keras menggeleng2kan kepalanya).
.....Sang Raja & seluruh rakyat yg menyaksikan
melongo & terdiam kagum melihat kehebatan Abunawas.
Fabel Rakyat Asia Tengah dan Timur Tengah Yang Diceritakan Kembali, - Bagian Satu
Nama tokoh cerita yang dikenal di Tiongkok yalah Avanti,
mungkin kemudian menjadi Afandi. Dan nama yang dikenal di kalangan kita di
Indonesia yalah Abunawas. Abunawas menurut catatan, hidup pada zaman Sultan
Harun Al Rasyid, ada di daerah Asia Tengah. Sedangkan Avanti atau Afandi, ada
di daerah Uighur, dekat Sinjiang, perbatasan daerah Uni Sovyet ( dulu ) atau
Rusia ( sekarang ) dan Tiongkok. Sinjiang ( Xinjiang ) wilayah Tiongkok yang
berbasiskan penganut agama Islam, karena itu namanya kebanyakan nama muslim.
tetapi karena juga dekat Rusia, maka namanya ada yang bercampur dengan nama
Rusia, seperti misalnya Burhanove, Ismailove, dan lainnya.
Afandi dan juga Abunawas adalah tokoh rakyat biasa. Miskin
tapi pintar dan cerdas. Sering-sering suka membuat olah macam-macam, tetapi
disukai banyak orang. Karena dia juga banyak membela dan berpihak pada rakyat
biasa yang seperti dirinya sendiri juga, maka dia dicintai dan disukai
penduduk. Menurut "sahibbulhikayat" pada pemerintahan Harun Al Rasyid
itu, adalah pemerintahan yang makmur, adil dan sejahtera. Pengadilan sangat
ketat memegang perundang-undangan dan peraturan. Rakyat bisa mengadukan kepada
sidang pengadilan yang dikepalai seorang Kadi, dan sidang pengadilan akan
memberikan keadilan yang sejujur dan seadilnya, demikian kata
"sahibbulhikyat" pada zaman itu.
AFANDI MAU TERBANG
Sudah terdengar ke mana-mana berita bahwa Afandi mau
terbang. Dan banyak orang-orang menanyakan kepadanya sendiri, apakah betul
Afandi mau terbang. "Ya, memang saya mau terbang", kata Afandi.
"Apakah orang-orang banyak sekitar pedesaan dan kota kita ini sudah pada
tahu semua bahwa Tuan mau terbang?". "Saya tidak tahu, yang saya tahu
betul bahwa saya mau terbang, itu saja", kata Afandi. Dan orang-orang yang
datang ke rumah Afandi, ketika menanyakan perihal dirinya, semua mendapat
jawaban yang sama. Banyak orang-orang heran, jangan-jangan Afandi ini sudah
gila. Dan juga saling bertanya, bagaimana maka Afandi punya pikiran tiba-tiba
mau terbang itu.
Kabar Afandi mau terbang benar-benar sudah merasuki semua
pedesaan dan kota di provinsinya, dan bahkan sudah terdengar kepada Sultan
penguasa negeri. Kabar ini menjadi suatu kehebohan. Orang tahu benar bahwa
Afandi itu sama seperti orang-orang kebanyakan, mana ada punya sayap, tak ada
alat-alat khusus, tidak juga menganut ilmu-burung yang bisa terbang. Kepala
Kampung mendengar berita ini betul-betul marah, karena beritanya sudah begitu
meluas dan terjadi sedikit kehebohan, sebab orang-orang saling berdebat dan
bertengkar. Mereka saling berdebat, bertengkar bahkan cekcok, dan berkelahi,
sebab ada yang tak percaya bahwa Afandi mau terbang itu. Ada yang bertahan,
pasti Afandi bisa terbang, karena mereka tahu benar bahwa Afandi tak pernah
bohong. Orangnya jujur dan memegang janji dengan teguh. Sifat-sifat Afandi
banyak orang tahu, sebab dia sangat disukai orang banyak. Tetapi banyak juga
orang tak percaya, masaksih Afandi yang begitu-begitu saja lha kok bisa-bisanya
mau terbang, tak mungkin!
Kepala Kampung memanggil Afandi menghadap. Afandi dengan
diiringi banyak orang dan "pengawal"nya datang memenuhi panggilan
Kepala Kampung. Kepala Kampung yang merangkap penguasa daerah itu menanyai
Afandi.
"Afandi, betul kamu mau terbang?" "Ya,
tuanku, memang saya mau terbang", jawab Afandi. "Kapan? Dan di
mana?". "Hari Jumat yang akan datang ini, dan dari menara mesjid
Baitulrakhim, tak jauh dari rumah saya", kata Afandi. "Afandi, karena
berita tentang kamu ini sudah sangat meluas, dan bahkan terjadi sedikit
kehebohan, maka pengadilan masarakat, akan menyaksikan kamu, dan kamu kalau
berbohong sesuai dengan kitab-undang-undang negeri, akan mendapat hukuman. Kamu
tahu, berbohong dan membohongi orang banyak, sama dengan menipu, dan menipu ada
hukumannya, sampai yang paling keras yalah hukuman gantung", kata Kepala
Kampung. "Baik tuanku. Saya tidak berbohong, bahwa saya mau terbang, pada
hari Jumat dan dari menara tertinggi mesjid Baitulrakhim tak jauh dari rumah
saya", kata Afandi dengan tegas.
Orang-orang yang menyaksikan dan medengarkan dengan hati
dan jantung deg-degan mendengarkan dengan rasa takut, ragu-ragu dan dengan
kekaguman. Bayangkan Afandi, teman mereka yang biasanya pada saling berhutang,
kini tiba-tiba akan menyaingi burung Garuda yang berani membelah langit! Siapa
yang takkan kagum. Tetapi dalam pada itu banyak juga yang meragukan
kebisaannya. Dengan alat apa dipakainya buat terbang? Mampukah dia?
Berbohongkah dia?
Orang-orang pada menunggu hari Jumat. Katanya sehabis
sembahyang lohor hari Jumat itu, semua penduduk pedesaan dan sekitar kota itu,
akan berkumpul bersama menyaksikan Afandi terbang. Dan seperangkat alat-alat
hukuman buat Afandi menjalani hukuman kalau dia berbohong juga sudah siap.
Sesudah sidang pengadilan nanti memutuskan hukuman apa yang akan dijalankan
terhadap Afandi. Apakah dengan 100 lecutan rotan, apakah dengan pemotongan daun
kuping, ataukah yang paling berat, hukuman gantung.
Orang-orang pada hari Jumat itu, ramai-ramai bersembahyang
bersama di mesjid. Yang biasanya sangat jarang ikut bersama berjemaah, kini
ramai-ramai berjemaah bersama sekalian melihat dan menyaksikan pertunjukan yang
teraneh di dunia. Seorang Afandi, rakyat biasa, yang sering hutang-berhutang,
kini, sebentar lagi akan mempertunjukkan kebisaannya yang bagaikan Garuda
membelah langit dan menembus awan-gemawan. Betapa mengagumkannya,
membanggakannya!
Tapi dalam pada itu tidak sedikit yang berdoa agar Tuhan
menyertai Afandi, melindungi Afandi, agar benar-benar Afandi bisa terbang dan
jangan sampai kena hukuman dari Kepala Kampung. Mereka sangat memikirkan nasib
Afandi. Karena apa yang dikatakan undang-undang dan Kepala Kampung, itu adalah
mutlak tak dapat diubah.
Pada hari yang dinantikan, Jumat sesudah sembahyang lohor
itu, lapangan sekitar mesjid Baitulrakhim sudah penuh orang. Orang biasa,
rakyat, penduduk dan penguasa setempat, sudah berjubel, mengambil tempat
masing-masing. Orang-orang menantikan saat yang paling genting dan mendebarkan.
Afandi dicari semua orang dengan mata dan hati yang mau tahu, mau agar Afandi
selamat dan lepas dari hukuman. Mau agar Afandi sukes dan berhasil gemilang
dalam bercita-cita terbangnya.
Tak usah mencari Afandi. Afandi dengan langkah yang sangat
gagah dan tak ragu, menaiki tangga menara tertinggi. Orang-orang mengikuti
dengan mata yang nanar dan tak bergerak, terpaku, terpadu dan menyatu mengikuti
seluruh tubuh Afandi. Ketika Afandi sampai pada puncak tertinggi, dia melihat
lurus, dan terkadang ke bawah yang penuh orang. Badannya dan kedua belah
tangannya merentang lurus, seakan-akan benar mau terbang. Orang-orang yang
dibawah itu, dengan seksama memperhatikan, bahwa tak ada satupun alat-alat yang
dipakai dan digunakan Afandi. Dengan alat apa lalu dia harus terbang?
Orang-orang terus memperhatikannya. Dan Afandi terus dan berulang-ulang
merentangkan tangannya dan memajukan badannya seakan-akan terbang dan bagaikan
berenang perilaku gerak-geriknya. Beberapa menit dilakukannya, berulang-ulang.
Tetapi nyatanya tetap saja Afandi tak bergerak terbang. Dan orang-orang di
bawah yang menyaksikan itu benar-benar menunggu dengan jantung berdegup
kencang.
Kepala Kampung dan seperangkat undang-undang dan
peraturannya merasa sudah waktunya buat bersiap-siap membuka
kitab-undang-undang, dan akan segera menjatuhkan hukuman apa yang seadilnya dan
sejujurnya, dengan patokan yang terberatpun harus dilaksanakan kalau bunyi
hukuman itu menyatakan demikian.
Dan orang-orang melepaskan desakan nafasnya yang tadi
barusan begitu cepat jalannya jantung, kini sama-sama melihat Afandi turun ke
bawah. Dan Afandi menemui mereka. Mereka semua terpana, terpesona, heran dan
penuh keraguan, apalagi yang mau dibuat Afandi ini!
"Apa semua kalian lihat tadi bagaimana saya mau
terbang itu?", kata Afandi. "Ya, kami lihat, kamu menggerakkan kedua
belah tanganmu dan badanmu tergerak ke depan, tampaknya memang bergaya mau
terbang", kata orang banyak. "Lalu apakah saya bohong bahwa saya mau
terbang pada hari Jumat ini dan di menara tertinggi mesjid Baitulrakhim
ini?", kata Afandi. "Ya tidak bohong, kamu betul mau terbang hari ini
dan di sini. Tapi kenapa lalu kamu tidak terbang?", kata mereka.
"Yang saya katakan saya mau terbang. Lalu saya coba, lalu ternyata yang
seperti kalian lihat tadi itu", kata Afandi. "Tapi ternyata kamu
tidak bisa terbang!", kata orang-orang. "Itu soal lain, saya tidak
mengatakan bahwa saya bisa terbang. Saya hanya mengatakan saya mau terbang pada
hari ini dan di sini. Itu yang saya katakan, dan kalian semua tahu semua itu.
Tidak ada ke luar dari mulut saya yang menjanjikan saya bisa terbang. Saya
katakan saya mau terbang, hanya itu, dan hari Jumat dan di sini, itu lihat,
dari menara tertinggi mesjid ini", kata Afandi.
Orang-orang pada berlihatan, dan mulut-mulut bergumam.
Tarikan nafas panjang, karena Afandi terlepas dari jeratan hukum. Orang-orang
juga sama membenarkan bahwa Afandi memang tidak berbohong. Dia melakukan semua
yang dia pernah katakan. Dan "rombongan Kepala Kampung" dengan tanpa
banyak cingcong mengayunkan langkah kedongkolannya, dan mengumpat dengan mulut
tertutup, sebab merasa malah mereka-lah yang diadili Afandi,-
Paris 6 Mei 2000
Konon Terjadi Saat Lailatulkadar
Cerita tentang ”Teler”-nya Abu Nawas
HAMPIR semua orang mengenal nama Abu Nawas. Namun di
negeri kita, sosok tersebut telanjur dianggap sebagai pelawak. Mungkin hal itu
akibat pengaruh buku "Hikayat Abu Nawas" saduran Nur Sutan Iskandar,
terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak
tahun 1930-an hingga 1950-an.
SALAH satu taman kota, "Taman Abu Nawas" di
Bagdad Irak dihiasi monumen dinding dengan relief cerita Abu Nawas yang hidup
merakyat dan berperilaku lucu. Monumen sejenis dengan tema cerita Abu Nawas
banyak dijumpai di taman-taman kota di Bagdad dan kota lainnya di Irak. (Foto
diambil Maret 2003).*Achmad Setiyaji/"PR" –
Padahal Abu Nawas (nama sebenarnya Abu Hani Muhammad
bin Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, tahun 735 dan meninggal di Bagdhad, tahun
810) adalah seorang sastrawan besar dalam khazanah sastra Arab abad
Pertengahan. Bahkan sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al
Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809.
Memang, karena kepiawaiannya di bidang bahasa dan
sastra Arab, Abu Nawas banyak menggubah sajak-sajak bercorak lelucon dan
senda-gurau (mujuniyat). Ia juga sangat ahli merangkai syair tentang cinta dan
kecantikan wanita (gazal), pujian terhadap seseorang (madah), bahkan sindiran
halus namun tajam (hija). Dan dalam keadaan mabuk minum alkohol khamr), sambil
meracau tak karuan, ia menggubah puisi-puisi yang membangga-banggakan minuman
keras, yang disebut puisi khumrayat.
Karena kelakuannya yang urakan, tak bermoral, bahkan
kemungkina atheis, Abu Nawas tidak disukai kalangan agamawan dan kalangan yang
menjunjung tinggi ahlak kesopanan. Bahkan, ia pernah dipenjarakan karena
kelakuannya yang tak beres itu.
Namun menjelang usia tua, ia berubah total. Menjadi
tekun beribadah, rendah hati (tawadlu) dan jarang berbicara. Dari beberapa
anekdot yang dihimpun para pengamat puisi Abu Nawas, terungkap, kesadaran (al
yakhzah) diri Abu Nawas tergugah pada suatu malam "Qadar" (Lai¬latulkadar).
Ko¬non, ketika dalam keadaan "teler" Abu Nawas didatangi seseorang
tak dikenal, yang berkata :
"Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa
la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam
yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang
merusak hidangan itu).
Abu Nuwas langsung merasa dirinya sebagai lalat.
Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa
manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-terusan merusak,
merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. La tufsidu
fil ardli. Innallaha la yuhibbul mufsidin (Alquran Surah Al Qashash ayat 77).
Sejak peristiwa "Malam Qadar" itu, Abu
Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari
kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi
apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.
Beberapa kawannya satu "geng" mendatangi Abu
Nawas yang sedang i'tikaf di sebuah masjid, pada sepuluh malam terakhir
Ramadan.
"Apa yang keluar dari bibirmu sekarang ?"
ejek kawan-kawannya.
"Ayat-ayat Alquran," jawab Abu Nawas, kalem.
"Yang kau pikirkan di kepalamu ?"
"Kemahaagungan Allah, yang sudah mengubah manusia
buruk seperti kalian, menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang."
"Kau habiskan malam-malammu dengan apa ?"
"Dengan mendekatkan diriku yang hina dina kepada
Zat Maha Mulia, yaitu Allah SWT."
"Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana ?"
"Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh
rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya
amat jelas," kata Abu Nawas seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw.
afdlala ibadati ummatiy tilawatul Qurani. Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca
Alquran.
Salah satu puisi karya terakhir Abu Nawas, sebuah
puisi religius yang di negeri kita (antara lain di Pondok Modern Gontor)
dijadikan "pupujian" seusai salat.
Ilahi, lastulil firdausi 'ala
Wa la aqwa alan naril jahimi
Fahabli taubatan waghfir dzunubi
Fainnaka ghafiru dzanbil adzimi
(Ya Allah, tak pantas buatku surga
Tapi neraka, tak kuat aku akan siksanya
Maka atas segala dosa aku bertaubat
Karena ampunanmu lebih hebat)
Puisi-puisi Abu Nawas bersama kisah hidupnya, ditulis
antara lain oleh Mustafa Abdur Razak, dalam buku "Abu Nawas, Hayatuhu wa
Sya'iruhu" (1981). Dikenal dan digemari di dunia Barat setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.von Kremer "Diwan des Abu
Nuwas Grossten Lyrischen Dichters der Araber" (1806).
Abu Nawas mung¬kin salah satu contoh manusia yang
mendapat barakah "Lailatul Qadar". Malam yang lebih baik daripada
seribu bulan. Kita yang sedang saum sambil mengharap ampunan, rahmat dan itqun
minannari (pembebasan dari api neraka), tak mustahil mendapat keberuntungan
seperti Abu Nawas. (H.Usep Romli HM)¬***